KATA
PENGANTAR
Segala
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan hikmah,
hidayah, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah Ekologi Tumbuhan
yang berjudul “Klimatologis Hutan Rawa Gambut” ini dapat terselesaikan.
Sholawat
serta beriring salam senantiasa kita limpahkan kepada junjungan alam nabi besar
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam yang berliku-liku menuju alam
yang lurus. Amin
Kami
menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bisa membangun menuju
kesempurnaan dari pada pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
Pekanbaru,1 April 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Lahan gambut
berperan penting bagi kesejahteraan manusia sebagai Penghasil ikan, hasil hutan
non kayu, “carbon – sink”, sebagai penahan banjir, pemasok air, berbagai proses
biokimia yang berhubungan dengan air, mengandung plasma nutfah yang bermanfaat
(sumber karbohidrat, protein, minyak dan antibiotik). Pengembangan lahan gambut
untuk pertanian telah dimulai sejak kolonial. Masyarakat Bugis, Banjar, Cina,
Melayu telah mampu mengembangkan pertanian secara berkelanjutan dengan teknik
sederhana dengan skala kecil.
Pengembangan lahan gambut dengan skala besar dilakukan
oleh pemerintah sejak tahun 1970 an yang dikaitkan dengan program transmigrasi.
Pemanfaatan lahan gambut dapat dijadikan lahan alternatif untuk pengembangan
pertanian, meskipun perlu pengelolaan yang tepat, dukungan kelembagaan yang
baik dan profesional serta pemantauan secara terus menerus. Potensi
lahan gambut di Indonesia cukup luas diperkirakan antara 17,4 – 20 juta hektar
yang tersebardi wilayah Pulau Kalimantan, Sumatera dan sebagian di Papua. Pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian dimaksudkan menghilangkan kelebihan air permukaan dan air dibawah
permukaan serta mengendalikan muka air tanah.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian melalui
reklamasi dari hutan rawa gambut (peat swamp forest) mengakibatkan
perubahan ekosistem alami (gambut sebagai restorasi dan konservasi air) menjadi
ekosistem lahan pertanian mempunyai konsekuensi perubahan sifat bawaan (inherent)
seperti biofisk dan kimia gambut dan lingkungan. Banyak dan beragam kendala yang
dihadapi dalam pengembangan lahan rawa ini baik teknis, sosial, ekonomi maupun
budaya. Masalah teknis utama termasuk adalah pengelolaan lahan dan air.
BAB II
PEMBAHASAN
KLIMATOLOGIS HUTAN RAWA GAMBUT
A. Karakteristik
Lahan Gambut
Bahan induk pembentuk tanah adalah bahan organik hasil
akumulasi bagian – bagian tanaman hutan hujan tropika. Gambut tropika mumnya
berukuran kasar sekasar batang, dahan dan ranting tumbuhan, sehubungan hal itu
maka penetapan karakteristikgambut dengan metode konvensonal menjadi bias.
Tanah gambut umumnya terbentuk karena kondisi jenuh air atau karena temperatur
yang rendah, sehingga proses dekomposisi berlangsung nisbi lambat dibanding
proses akumulasi. Tanah ganbut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter
(pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi
dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan topografi/tanah
mineral di bawahnya. Bahan dasar penyusun tanah gambut didominasi oleh lignin
dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga proses dekomposisi bahan
organiknya lambat. Sifat fisika tanah gambut, khususnya hidrolikanya ditentukan
oleh tingkat pelapukan bahan organiknya. Pengelompokan tanah gambut berdasarkan
tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam tanah
gambut,yakni fibrik, hemik, dan saprik.
Pengendalian drainase lahan gambut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
oksidasi gambut sehingga dapat menurunkan dekomposisi gambut. Hal ini dapat
dimungkinkan dengan penggenangan, menghindari pengusikan (distrubance)
dan mengatur tinggi permukaan air tanah (ground water level) di daerah
rhizosfer. Drainase gambut harus didekati dengan perspektif total pengelolaan
air yaitu dengan meminimalisir “stress” lengas tanah.
B.
Iklim Hutan Rawa Gambut
Iklim adalah sintesis
hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara statistik mengenai
keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981 dalam Wenger, 1984).
Menurut
Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya
berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk
tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro
dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan
sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan
mikro.
Menurut Kramer
dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi
hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya,
suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin. Menurut de Rozari (1987) suhu udara di
dekat permukaan mempunyai arti penting bagi kehidupan oleh karena selain
kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat antara
beberapa proses kehidupan dengan suhu.
C. Suhu dan Kelembaban Hutan Rawa
Gambut
Dari segi biologi, profil suhu udara
penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang tajam antara suhu
permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian organisme hidup berada
seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan. Sebuah kecambah yang baru
muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang
akan dialaminya kemudian.
Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum
biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih tinggi daripada di daerah yang
terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam tajuk menghalang-halangi masuknya
radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui
transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat
secara cepat; dengan demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada
daerah terbuka selama siang hari.
Suhu
tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon
paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas
yang diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada
suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain.
Kelembaban
relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %,
baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim
kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar
0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % -
69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada
musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96%(Rieley,etal.,1996).
B. Pengolahan Lahan Gambut
Untuk Pengembangan Pertanian
·
Pengelolaan
lahan gambut tradisional untuk tanaman padi
Di dalam
sistem handil, parit utama dibuat kurang lebih tegak lurus badan sungai, ukuran
parit utama lebar 2 m dalam 1 – 2 m), Setiap sekitar 200 m dibuat parit parit
sekunder tegak lurus parit utama. Pada parit utama sebelum di persimpangan
parit sekunder dibuat tabat untuk mengatur air. Di hulu parit utama selalu
disisakan parit utama sebagai tandon (”reservoir”) air untuk menggelontor air
masam dan kemudian mengairi lahan untuk tanaman padi lokal yang olah tanahnya
dilaksanakan secara tradisional. Dengan sistem ini pertanian padi dapat lestari
(sustainable) sampai saat ini dengan tingkat produktivitas antara 2,0 –
2,5 t/ha tiap tahun.
·
Pengelolaan
lahan gambut tradisional untuk tanaman kelapa
Parit dibuat
ukuran minimal, pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat,
produktivitas tanaman kelapa dapat kontinu sampai saat ini.
·
Pengelolaan
lahan gambut untuk tanaman perkebunan kelapa
Pengelolaan
lahan gambut dalam satu ekosistem pulau. Sistem drainase dikendalikan dengan
baik untuk menjaga muka air dalam tanah disesuaikan dengan ruang perakaran yang
diperlukan oleh tanaman. Produksi kelapa dapat menopang industri perkebunan.
·
Pengelolaan
lahan gambut tradisional untuk tanaman sagu
·
Parit dibuat ukuran kecil dan
pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat, produktivitas tanaman
sagu dapat dikelola dalam skala industri.
·
Pengelolaan
lahan gambut untuk hutan tanaman industri
Pengembangan
hutan tanaman industri (HTI) tanaman Acasia mangium dan Acasia
crasicarpa di kaki kubah gambut. Parit (saluran) primer cukup besar lebar
antara 8 – 10 meter karena selain untuk drainase juga untuk transportasi
(navigasi), namun permukaanair dijaga ketat. Saluran sekunder (lebar 2 – 3
meter) dan saluran tertier (1 – 2 meter) cukup kecil untuk mengendalikan
permukaan air tanah. Perkebunan ini telah memasok pabrik pulp.
D.
Pengelolaan
Air Pada Tanah Gambut
Pengelolaan air pada lahan gambut pada prinsipnya
adalah pengaturan kelebihan air sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
dibudidayakan.Tanah gambut mempunyai kemampuan menyimpan air yang besar dan
tergantung tingkat kematangan gambut. Salah satu sistem yang diterapkan untuk
pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem drainase terkendali. Pada
dasarnya sistem ini untuk mengatus air secara terkendali mulai dari tanggul
dipasang bangunan pengendali (kontrol) agar dasar saluran relatif datar dan
bangunan pengandali kedua sebelum air dari air keluar dari lahan menuju ke
sungai dengan maksud untuk mengendalikan elevasi muka air relatif. Bila aliran
air keluar tidak akan drastis sehingga dapat mengendalikan ”overdrained” dan
mencegah kekeringan yang akhirnya mempertahankan kondisi lahan tetap terpenuhi
keperluan airnya.
Ukuran bangunan pengendali terutama lebar saluran
tergantung komoditas yang diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi
lahan tetap tergenang sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif
terkendali, dan untuk tanaman perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air
tanah relatif dalam sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zona
perakarannya. Pengelolaan air diperlukan karena:
a. kondisi alami dan restorasi terutama kegiatan
koservasi air .
b. pengelolaan air
diperlukan untuk menghilangkan kelebihan air permukaan (drainase) dan air dibawah permukaan terutama
untuk pertanian.
c. pengecegahan kebakaran dan
pertanian : yaitu pengendalian muka air tanah
E.
Fungsi dan Manfaat
Ekosistem Gambut
Fungsi dan manfaat
ekosistem gambut mengacu pada kegunaan, baik langsung maupun tidak langsung
bagi masyarakat. Beberapa fungsi dan manfaat dapat diringkas pada Tabel 1.
Fungsi Hutan Rawa Gambut Tropis
|
Manfaat dan Penggunaan
|
Pengaturan
banjir dan arus larian
|
Mitigasi banjir dan kekeringan di wilayah hilir.
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya serap air yang
sangat besar. Menurut jenisnya, gambut saprik, hemik, dan fibrik dapat
menampung air berturut-turut sebesar 451% (empat ratus lima puluh satu per
seratus), 450-850% (empat ratus lima puluh hingga delapan ratus lima puluh
per seratus), dan lebih dari 850% (delapan ratus lima puluh per seratus) dari
bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan puluh per seratus) dari volumenya.
Karena sifatnya itu, gambut memiliki kemampuan
sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat
menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada
musim kemarau.
|
Pencegahan
instrusi air laut
|
Kegiatan pertanian di wilayah pasang surut akan
memperoleh manfaat besar dari keberadaan rawa gambut di wilayah hulu, sebagai
sumber air tawar untuk irigasi dan memasok air tawar secara terus menerus
guna menghindari atau mitigasi intrusi air asin.
|
Pasokan
air
|
Di beberapa wilayah pedesaan pesisir, rawa gambut
bisa jadi merupakan sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan minum dan
irigasi untuk beberapa bulan selama setahun.
|
Stabilisasi iklim
|
|
Penyimpanan
karbon
|
Nilai keanekaragaman hayati yang dapat ditangkap
diperkirakan sebesar US $ 3 (tiga) per hektar per tahun, tidak termasuk nilai
intrinsik jenis, potensi ekowisata serta bahan-bahan farmasi yang dapat
dipasarkan secara internasional (Tacconi 2003). Hutan rawa gambut di
asia tenggara semakin menunjukkan peran pentingnya sebagai bank gen, terutama
karena semakin menyusutnya peran hutan dataran rendah akibat kegiatan
pembalakan dan konversi lahan. Bagi berbagai jenis satwa, lahan gambut
menyediakan habitat yang sangat penting, khususnya pada wilayah yang
bersambung dengan air tawar dan hutan bakau.
|
habitat
hidup liar
|
Meskipun tidak sebanyak di ekosistem hutan tropis,
ekosistem lahan gambut menyediakan habitat penting yang unik bagi berbagai
jenis satwa dan tumbuhan, beberapa diantaranya hanya terbatas pada ekosistem
gambut. Di Taman Nasional Berbak Jambi tercatat sekitar 250 (dua ratus lima
puluh) jenis burung termasuk 22 (dua puluh dua) jenis burung bermigrasi.
Sungai berair hitam juga memiliki tingkat
endemisme ikan yang sangat tinggi. Di samping itu, lahan gambut juga
merupakan habitat ikan air tawar yang merupakan komoditas dengan nilai
ekonomi tinggi dan penting untuk dikembangkan, baik sebagai ikan konsumsi
maupun sebagai ikan ornamental. Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, termasuk gabus (chana striata), toman (channa micropeltes), jelawat,
dan tapah (wallago leeri).
Sementara itu, beberapa jenis satwa telah termasuk
dalam kategori langka dan terancam punah serta memiliki nilai ekologis yang
luar biasa dan tidak tergantikan, sehingga sangat sulit untuk dikuantifikasi
secara finansial. Beberapa jenis tersebut diantaranya adalah harimau sumatera
(panthera tigris), beruang madu (helarctos malayanus), gajah sumatera
(elephas maximus), dan orang utan (pongo pymaeus). Seluruh jenis tersebut
dilindungi berdasarkan peraturan perlindungan di Indonesia serta masuk dalam
appendix I CITES dan IUCN Red List dalam katagori endanger species.
|
Habitat
tumbuhan
|
Tidak kurang dari 300 (tiga ratus) jenis tumbuhan
telah tercatat di hutan rawa gambut Sumatera. Di Taman Nasional Berbak Jambi,
misalnya kawasan ini merupakan pelabuhan bagi keanekaragaman genetis dan
ekologis dataran rendah pesisir di Sumatera. Sejauh ini telah tercatat tidak
kurang dari 260 (dua ratus enam puluh) jenis tumbuhan (termasuk 150 jenis
pohon dan 23 jenis palem), sejauh ini merupakan jumlah jenis terbanyak yang
pernah diketahui
|
Bentang
alam
|
Hutan rawa gambut menempati kawasan yang khusus
pada bentang alam dataran rendah, membentuk mosaik ekologi yang tersusun dari
tipe vegetasi khas pada hutan bakau, diantara hamparan pantai tua, pinggiran
sungai serta pertemuan dengan hutan rawa air tawar
|
Alam
liar
|
Hutan rawa gambut memiliki nilai alam liar yang
luar biasa, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk perkotaan. Hal ini merupakan
modal yang sangat berharga untuk pengembangan pariwisata alam.
|
Sumber
hasil alam
|
Rawa gambut menyediakan sumber alam yang luar
biasa, termasuk berbagai jenis tumbuhan kayu yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, seperti ramin (gonystylus bancanus), jelutung (dyera costulata) dan
meranti (shorea spp).
Beberapa studi sosial-ekonomi menunjukkan bahwa
ketergantungan masyarakat sekitar terhadap hutan rawa gambut dapat mencapai hingga
80% (delapan puluh per seratus) dan ini lebih tinggi dari ketergantungan
mereka terhadap usaha pertanian.
|
F. Ancaman
Terhadap Ekosistem Gambut
Selama
lebih dari 30 (tiga puluh) tahun terakhir ini, hutan rawa gambut telah
mengalami pembalakan, pengeringan, dan perusakan dahsyat akibat adanya berbagai
kegiatan yang terkait dengan kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kegiatan
pembalakan baik resmi maupun tidak resmi seringkali melibatkan pengeringan
gambut selama proses ekstraksinya.
Pada
kondisi alaminya yang basah, lahan gambut sebenarnya tidak mungkin untuk
mengalami kebakaran besar. Pada kenyataannya, karena telah banyak mengalami
kekeringan akibat drainase diantaranya untuk perkebunan maupun pengeluaran
kayu, kebakaran kemudian menjadi fenomena umum di lahan gambut. Berbagai
kegiatan seperti pembukaan dan persiapan lahan pertanian, perkebunan,
pemukiman, penebangan yang tidak terkendali, pembangunan saluran
irigasi/parit/kanal untuk perkebunan dan pengeluaran kayu tebangan serta transportasi
menyebabkan kerusakan lahan gambut. Kerusakan yang terjadi tidak hanya
menyebabkan kerusakan fisik (subsiden terbakar dan berkurangnya luasan gambut),
tetapi juga menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem dan ekologis gambut.
BAB III
PENUTUP
1.
Gambut
tropika mumnya berukuran kasar sekasar batang, dahan dan ranting tumbuhan,
sehubungan hal itu maka penetapan karakteristikgambut dengan metode konvensonal
menjadi bias.
2.
Pengelompokan
tanah gambut berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume
menghasilkan tiga macam tanah gambut,yakni
fibrik, hemik, dan saprik.
3.
Suhu tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis
awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu
(1)jumlah bersih panas yang diadsorbsi,(2)energi panas yang diperlukan yang
membawa perubahan pada suhu tanah dan (3)energi panas yang dibutuhkan untuk
perubahan lain.
4.
Pengelolaan
air pada lahan gambut pada prinsipnya adalah pengaturan kelebihan air sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang dibudidayakan.
5.
Pengelolaan air diperlukan karena:
a.kondisi alami dan restorasi terutama kegiatan koservasi air .
b.pengelolaan air diperlukan untuk menghilangkan kelebihan air
permukaan (drainase) dan air dibawah
permukaan terutama untuk pertanian.
c.pengecegahan
kebakaran dan pertanian : yaitu pengendalian muka air tanah.
Daftar
Pustaka
http://elfisuir.blogspot.com/2010/06/tanah-hutan-rawa-gambut-propinsi-riau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar